TEKNOLOGI INFORMASI DAN KAITANNYA DENGAN DUNIA SASTRA
Di era globalisasi seperti saat ini kemajuan dan kecanggihan dunia teknologi informasi semakin pesat.Banyak penemuan-penemuan baru atau inovasi-inovasi baru khususnya dalam bidang teknologi informasi. Sekarang ini sudah banyak kegiatan atau aktivitas yang dilakukan dengan system online. Misalnya tentang formulir suatu pendaftaran. Dahulu orang harus bersusah payah, mengantri untuk mendapatkan atau mengambil formulir. Tapi berkat kecanggihan teknologi, saat ini untuk mendapatkan suatu formulir, kita bisa langsung mengakses lewat internet. Teknologi informasi yang semakin maju dan canggih juga sangat mempengaruhi atau berdampak terhadap ilmu dan bidang lain. Misalnya saja teknologi informasi dengan kaitannya bidang ilmu Sastra Indonesia. Teknologi informasi mempunyai manfaat dan andil yang cukup besar terhadap proses semakin berkembangnya ilmu sastra. Ilmu sastra selanjutnya menghasilkan karya sastra misalnya puisi, cerpen, cerbung, dan sebagainya. Dahulu, sebelum teknologi informasi belum begitu canggih dan orang pun masih awam dengan hal yang berkaitan dengan teknologi informasi, orang yang sebenarnya berbakat dan mempunyai potensi dalam bidang sastra Indonesia dan bias menciptakan, menghasilkan karya sastra, akan tetapi tidak bisa atau kalaupun bisa sangat sulit untuk mempublikasikan karya sastra mereka ke khalayak umum. Juga dalam proses penciptaan, menghasilkan suatu karya sastra itu sendiri mengalami kesulitan. Akan tetapi saat ini, satelah semakin canggih teknologi informasi, orang bisa dengan mudah menghasilkan suatu karya sastra sekaligus mempublikasikan ke khalayak umum.
Credit : http://istiqamahnurnay2.wordpress.com
Sastra: Utopia, Dystopia, Hiper-topia
Bagaimana menempatkan sastra dalam bingkai perkembangan sains dan teknologi mutakhir, atau sebaliknya-dengan bersandar pada konsep ‘budaya ketiga’ Brockman-bagaimana menempatkan sains dan teknologi mutakhir dalam bingkai perkembangan sastra? Apakah perkembangan sains dan teknologi mutakhir seperti artificial intelligence, cyberspace atau telesurveillance memberikan ‘tanah impian baru’ yang menjanjikan bagi perkembangan sastra, atau malah menggiring pada degradasi dan kehancuran sastra? Di pihak lain, apakah sastra mampu berperan dalam ‘meluruskan’ perkembangan sains dan teknologi, sehingga mengurangi berbagai ekses, sifat melampaui dan penghancuran diri sendirinya?
Pertanyaan tentang bagaimana perkembangan sains dan teknologi mutakhir memberikan ‘spirit’ pada perkembangan sastra, berkaitan dengan pertanyaan bagaimana sastra ‘menggunakan’ sains dan teknologi di dalam ekspresi dan narasinya. Dalam hal ini, Raymond Williams, di dalam Problems in Materialism and Culture, menjelaskan dua tipe karya sastra, khususnya fiksi, menyangkut visinya terhadap ‘masa depan’-baik yang melibatkan sains dan teknologi maupun yang tidak-yaitu: sastra utopia (utopia) dan distopia (dystopia). Akan tetapi, perkembangan sains dan teknologi mutakhir ke arah hiper-sains dan hiper-teknologi, memungkinkan kita menambahkan kategori ketiga yang tidak terpikirkan oleh Williams, yaitu ‘sastra hiper-topia’ (hyper-topia).
Pertama, ‘sastra utopia’, sebagai sastra yang merayakan pandangan optimistik, positivistik dan afirmatif terhadap perkembangan sains dan teknologi. Williams menjelaskan empat tipe fiksi utopian macam ini, yang melukiskan: a) surga, yang di dalamnya sebuah kehidupan lebih bahagia dilukiskan terjadi di sebuah dunia lain; b) dunia yang berubah secara eksternal, yang di dalamnya sebuah kehidupan baru dimungkinkan melalui perubahan terhadap alam; c) transformasi yang didambakan, yang di dalamnya sebuah kehidupan baru dicapai melalui upaya-upaya manusia; dan d) transformasi teknologis, yang di dalamnya sebuah kehidupan baru dimungkinkan melalui penemuan teknis. [xxiv] Sastra utopis yang bersandar pada transformasi teknologis adalah sastra yang ‘merayakan’ sains dan teknologi dalam ekspresi dan narasinya, dengan menarasikan segala konsekuensi-konsekuensi positifnya.
Beberapa fantasi ilmiah yang dinarasikan oleh para penulis fiksi ilmiah, seperti Bruce Sterling dan William Gibson, dapat dikategorikan sebagai novel yang merayakan utopia, dengan membangun sebuah rekaan atau skenario tentang sebuah ‘masa depan’ yang menjanjikan kebahagiaan, yang pada akhirnya lewat kemajuan sains dan teknologi menjadi sebuah kenyataan. Misalnya, Novel Williams Gibson, Neuromancer, yang ditulis sekitar tahun 60-an, melukiskan sebuah ‘tanah impian baru’ tersebut, berupa sebuah rekaan dunia maya yang dibentuk oleh jaringan komputer yang terkoneksi secara global, yang disebutnya matrix. [xxv] Fiksi ilmiah Gibson tersebut kini menjadi realitas keseharian abad informasi, yang kita kenal sekarang sebagai internet atau realitas virtual (virtual reality).
Kedua, ‘sastra distopia’, yaitu segala bentuk ekspresi dan narasi yang merupakan kebalikan dari sastra utopia. Williams menjelaskan pula empat tipe sastra distopia: a) neraka (the hell), yang di dalamnya sebuah dunia tak menyenangkan dilukiskan terjadi di sebuah tempat; b) dunia yang berubah secara eksternal, yang di dalamnya sebuah kehidupan baru tetapi tak membahagiakan berlangsung karena peristiwa alam yang tak terkendalikan; c) transformasi yang didambakan, yang di dalamnya sebuah dunia baru tapi tak menyenangkan tercipta akibat degenerasi sosial, sebuah tatanan sosial yang merusak, atau konsekuensi-konsekuensi dari upaya transformasi sosial yang berujung bencana; d) transformasi teknologi, yang di dalamnya kondisi kehidupan diperburuk oleh perkembangan teknologi. [xxvi]
Berkebalikan dengan sastra utopia, sebagian besar eksplorasi langsung kondisi dan bentuk kehidupan-sosial dan politik dan juga material-dalam efek dan intensinya bersifat distopian: perang nuklir, peledakan penduduk, pemanasan global (global warming), pengintaian elektronik (electronic surveillance). Sastra distopia melukiskan sebuah masa depan yang kelam, suram, menakutkan, enigmatik dan penuh ketakpastian, sebagai ekses dari perkembangan sains dan teknologi yang tak mampu dikendalikan. Sastra distopia adalah ungkapan kekecewaan, ketaksetujuan dan keputusasaan terhadap arah perkembangan masa depan, terutama yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi. Novel-novel Aldous Huxley, Brave New World (1932), George Orwell, Nineteen Eighty-Four (1949), dan H. G. Wells, The Time Machine (1895), dapat dikategorikan sebagai sastra distopia macam ini. Novel H.G. Wells, misalnya, adalah sebuah lukisan pesimis tentang masa depan, di mana kontrol total manusia oleh teknologi menggiring pada kondisi degenerasi dan dekadensi kemanusiaan. [xxvii]
Ketiga, ‘sastra hiper-topia’. Berdasarkan pengaruh perkembangan mutakhir sains, teknologi, sosial, dan budaya dapat dijelaskan di sini beberapa tipe sastra hiper-topia: 1) sastra fatalis, yaitu sastra yang dibangun oleh ketiadaan kategorisasi (indifference) dan ukuran-ukuran tentang baik/buruk, benar/salah, atau membangun/merusak. 2) sastra dekonstruktif (deconstructive), yaitu sastra yang merayakan pencairan batas-batas: utopia/distopia, masa lalu/masa depan, rasional/irasional, nalar/mistik, 3) sastra pastiche, yaitu sastra yang ketimbang melukiskan sebuah ‘tanah impian’ di masa depan yang dibangun oleh sains dan teknologi mutakhir, justeru mengajak mengembara ke dalam spirit dan ‘tanah impian masa lalu’ (mitos, mistisisme, kearifan kuno), 4) sastra hiper-realis (hyper-realis), yaitu sastra yang melukiskan sebuah kehidupan yang berkembang menuju ‘ekstrimitas’, sebagai akibat perkembangan hiper-sains dan teknologi.
Sastra hiper-topia melukiskan arah pertumbuhan sains dan teknologi mutakhir akan menuju pada sebuah masa depan yang suram, bencana kerusakan (catasthrope) atau sebuah ‘hari kiamat’ (doomsday), akan tetapi tidak ambil peduli dengan segala ancaman resiko itu, memalingkan muka darinya (dengan cara kembali ke dalam pelukan nostalgia), tidak mampu melukiskan resiko itu, atau tidak kuasa menghindarkan diri dari perangkapnya, dan membiarkan diri di larut di dalam ‘kenikmatan penuh resiko ‘itu, sebelum kehancuran dan bencana yang sebenarnya datang. Novel Umberto Eco, Foucault’s Pendulum (1989), Dan Brown, DaVinci Code (2005), dapat dikategorikan sebagai sastra hiper-topia, khususnya dalam kategori sastra pastiche, yang di dalamnya masa depan (utopia) tumpang-tindih dengan spirit masa lalu di dalam sebuah kesatuan narasi yang kontradiktif.
Sains dan Teknologi dalam Sastra Indonesia
Bagaimana perkembangan sains dan teknologi mutakhir berkaitan dan memberikan ‘spirit’ pada perkembangan sastra kontemporer di Indonesia? Apakah perkembangan sains dan teknologi mutakhir di dalam abad informasi-digital (televisi, video, handphone, internet) membuka sebuah ruang bagi ekspresi sastra atau malah menutupnya? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat perkembangan mutakhir di dalam dunia sastra di Indonesia, dan bagaimana ia berkaitan secara timbal balik dengan perkembangan sains dan teknologi.
Dapat dijelaskan di sini, bahwa perkembangan sains-teknologi dan sastra di Indonesia secara umum masih terperangkap di dalam bingkai ‘dua budaya’, sebagaimana dikatakan Snow, di mana perkembangan sains dan teknologi belum dapat memberikan masukan yang berarti pada perkembangan sastra, terutama karena belum berkembangnya sains dan teknologi itu secara signifikan. Di samping itu, minat bagi pengembangan sastra dengan tema-tema sains dan teknologi di dalam dunia sastra di Indonesia, terutama kategori fiksi ilmiah masih rendah, ditambah dengan kondisi perkembangan sains dan teknologi yang belum mendukung ke arah ekspresi macam itu.
Melihat perkembangan sastra sejauh ini, ada dua kecenderungan umum bagaimana sastra ‘memperlakukan’ sains dan teknologi, yaitu: 1) perayaan sains dan teknologi, berupa kekaguman terhadap perkembangan sains dan teknologi, dan mengungkapkan kekaguman ini di dalam narasi atau fiksi, dan 2) sikap kritis terhadap sains dan teknologi, dengan melukiskan efek-efek merusak dari teknologi, serta bagaimana perkembangan sains dan teknologi menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai yang telah diwariskan sebelumnya. Kecenderungan ke arah hiper-topia belum tampak di dalam perkembangan sastra mutakhir di Indonesia, meskipun hiper-realitas telah menjadi bagian dari dunia kehidupan sehari-hari masyarakat, melalui penggunaan aneka teknologi simulasi, seperti komputer, internet dan realitas virtual.
Spirit utopis tampak di dalam berbagai ekspresi sastra, baik berupa puisi, cerpen atau fiksi. Pesona dan kekaguman terhadap kemajuan dan pencapaian sains menjadi tema utama dari ekspresi sastra, melalui perayaan terhadap peran sains dan teknologi itu sendiri dalam mambangun kehidupan bermakna. Di antara karya sastra utopis yang fenomenal, yang dipengaruhi oleh kekaguman terhadap perkembangan sains mutakhir adalah karya Dewi Lestari, Supernova (2000). Meskipun belum dapat dikategorikan sebagai fiksi ilmiah, karena sejauh ini masih sering dipertanyakan ‘riset’ dan ‘pertanggungjawaban’ ilmiah dari novel ini, akan tetapi novel ini dapat dianggap sebagai sebuah ‘terobosan baru’ dalam dunia sastra, yang mencoba mengambil tema-tema sains mutakhir sebagai tema utama sastra, dengan perkataan lain menjadikan sastra bermuatan ‘sains’.
Kecenderungan umum dalam sastra Indonesia adalah spirit distopia, yang diekspresikan di dalam aneka ekspresi sastra. Di sini, ekspresi sastra merupakan sebuah bentuk kritik terhadap perkembangan sains dan teknologi itu sendiri, yang dianggap telah ‘merenggut’ manusia dari kebersatuannya dengan alam: dengan tanah, ombak, laut, pasir, bunga, hujan atau tepi langit. Karya sains dan teknologi mulai dari yang ‘sederhana’ seperti jam, kulkas, televisi, sampai yang lebih kompleks seperti komputer, handphone atau internet, dianggap telah menjadikan manusia ‘tercabut’ dari akarnya di pangkuan alam. Sastra dijadikan sebagai kendaran untuk menyatakan kekecewaan, ketakpuasan dan ketakbahagiaan terhadap kecenderungan sains dan teknologi mutakhir, yang dianggap telah menggiring pada kerusakan lingkungan ekologis, kehancuran alam, kematian sosial, dan degradasi manusia dan nilai kemanusiaan. Kecenderungan distopia ini, misalnya, tampak pada sajak Subagio Sastrowardoyo ‘Manusia Pertama di Angkasa Luar‘ (1982):
Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih.
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih.
Seiring dengan perkembangan mutakhir teknologi informasi, di dalam kancah dunia sastra di Indonesia berkembang pula semacam ‘sastra elektronik’ (electronic literature), melalui berbagai situs, blog atau mailing list sastra. Melalui ‘sastra elektronik’, tulisan (text) yang di masa lalu memancangkan sebuah pikiran (to fix), kini berubah menjadi hiperteks (hypertext), yang menjadikan pikiran mengapung (floating) dan mengalir (flux). Di dalam jaringan teknologi informasi (internet, tv, handphone, vcd) sastra berkembang menjadi semacam ‘sastra jaringan’ (net-literature), yang melaluinya komunitas-komunitas sastra berinteraksi dan berkolaborasi secara virtual. Meskipun demikian, perkembangan baru ini masih dilihat lebih sebagai peralihan medium sastra semata-dari teks ke arah hiper-teks, dari kertas ke realitas virtual-ketimbang perubahan substansial dan isi karya sastra itu sendiri (content). Konsep dan prinsip-prinsip sains dan teknologi itu sendiri pada kenyataannya belum banyak memberikan ‘ruh’ pada ekspresi karya-karya sastra. [*]
Credit : www.dapunta.com
ini sebenernya tugas TI aku..
tapi buat ngisi-ngisi blog biar keliatan bermutu jd aku tulis disini aja deh..
~kekekekekekeke~ XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar